Jakarta - Wulan, bukan nama sebenarnya, menangis tersedu-sedu saat mendatangi kantor Komnas Perempuan. Ia mengadukan soal penderitaan yang dialaminya. Dia dicerai namun sang mantan suami tidak sedikit pun memberikan apa-apa untuk dirinya dan juga dua anaknya.
Perempuan berusia 34 tahun itu kepada Komnas Perempuan mengaku, tidak bisa berbuat banyak untuk menuntut haknya secara hukum. Sebab, dia hanya istri kedua yang dinikahi secara siri (pernikahan rahasia). Karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), maka nasibnya semakin tidak jelas. Maka mengadulah Wulan ke Komnas Perempuan.
Wulan tidak sendirian, masih banyak korban pernikahan siri yang lainnya. Menurut komisioner Komnas Perempuan Masruchah, data Komnas Perempuan dari sejumlah mitra serta kantor pencatat nikah menyebutkan 50 persen kasus perceraian adalah dari pernikahan siri.
"Perempuan-perempuan yang dinikahi secara siri memang rentan terhadap perceraian. Posisinya sangat lemah di dalam hukum pernikahan. Sehingga sang suami bisa semena-mena meninggalkan mereka sesuka hati," jelas Masruchah saat berbincang-bincang dengan detikcom, Selasa (23/10/2010).
Banyak faktor yang menyebabkan posisi perempuan sangat lemah saat nikah siri. Misalnya, usia perempuan masih muda sementara suaminya sudah dewasa, pihak perempuan jauh lebih miskin dan pendidikan yang jauh lebih rendah dibanding pihak laki-laki. Karena ketimpangan tersebut, pihak suami cenderung bertindak sewenang-wenang. Alasan itu kemudian menjadi pembenaran bagi suami untuk menceraikan begitu saja istrinya.
"Memang dalam perceraian masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab. Tapi yang paling menyedihkan adalah para istri yang dinikahi secara siri. Sebab mereka tidak bisa mendapatkan tunjangan dari mantan suami pasca perceraian karena perkawinannya tidak punya kekuatan hukum," jelasnya.
Karena lemahnya posisi sang istri, sang suami mudah pindah ke lain hati atau mencari istri-istri yang lain. Orang ketiga inilah yang kemudian memicu terjadinya perceraian. Sang suami bisa leluasa menikahi perempuan lain karena beranggapan bisa dengan mudah melepaskan istri sirinya. Tingkat perceraian pun meningkat.
Data dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menyebutkan perceraian meningkat 40 persen dalam 5 tahun terakhir (2004-2009). Penyebab perceraian beragam, tidak ada kecocokan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, salah satu pasangan menjadi TKI atau jarak usia yang terlalu jauh.
Kementerian Agama pun punya data dari seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Dari 157.771 kasus perceraian yang masuk pengadilan, sebanyak 77.528 kasus atau 49 persen disebabkan salah satu pihak tidak bertanggung jawab. 10.444 kasus atau 6 persen disebabkan karena perselingkuhan atau faktor orang ketiga.
"Faktor teratas disebabkan karena salah satu pihak tidak bertanggung jawab, faktor ekonomi di rumah tangga, dan kawin paksa," kata Dirjen Badan Peradilan Agama Kementerian Agama Wahyu Widiana saat dihubungi detikcom.
Sayangnya, itu hanyalah data perceraian dari pernikahan resmi di KUA. Kasus perceraian dari pernikahan siri, tidak terdata sama sekali. Menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus perceraian pasangan nikah siri, jauh lebih tinggi perbandingannya dari pasangan yang menikah resmi.
"Jumlah perceraian pasangan nikah siri sangat banyak. Itu berdasarkan temuan mitra Komnas perempuan di sejumlah daerah," pungkas komisioner Komnas Perempuan Masruchah.
(sumber)
Perempuan berusia 34 tahun itu kepada Komnas Perempuan mengaku, tidak bisa berbuat banyak untuk menuntut haknya secara hukum. Sebab, dia hanya istri kedua yang dinikahi secara siri (pernikahan rahasia). Karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), maka nasibnya semakin tidak jelas. Maka mengadulah Wulan ke Komnas Perempuan.
Wulan tidak sendirian, masih banyak korban pernikahan siri yang lainnya. Menurut komisioner Komnas Perempuan Masruchah, data Komnas Perempuan dari sejumlah mitra serta kantor pencatat nikah menyebutkan 50 persen kasus perceraian adalah dari pernikahan siri.
"Perempuan-perempuan yang dinikahi secara siri memang rentan terhadap perceraian. Posisinya sangat lemah di dalam hukum pernikahan. Sehingga sang suami bisa semena-mena meninggalkan mereka sesuka hati," jelas Masruchah saat berbincang-bincang dengan detikcom, Selasa (23/10/2010).
Banyak faktor yang menyebabkan posisi perempuan sangat lemah saat nikah siri. Misalnya, usia perempuan masih muda sementara suaminya sudah dewasa, pihak perempuan jauh lebih miskin dan pendidikan yang jauh lebih rendah dibanding pihak laki-laki. Karena ketimpangan tersebut, pihak suami cenderung bertindak sewenang-wenang. Alasan itu kemudian menjadi pembenaran bagi suami untuk menceraikan begitu saja istrinya.
"Memang dalam perceraian masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab. Tapi yang paling menyedihkan adalah para istri yang dinikahi secara siri. Sebab mereka tidak bisa mendapatkan tunjangan dari mantan suami pasca perceraian karena perkawinannya tidak punya kekuatan hukum," jelasnya.
Karena lemahnya posisi sang istri, sang suami mudah pindah ke lain hati atau mencari istri-istri yang lain. Orang ketiga inilah yang kemudian memicu terjadinya perceraian. Sang suami bisa leluasa menikahi perempuan lain karena beranggapan bisa dengan mudah melepaskan istri sirinya. Tingkat perceraian pun meningkat.
Data dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menyebutkan perceraian meningkat 40 persen dalam 5 tahun terakhir (2004-2009). Penyebab perceraian beragam, tidak ada kecocokan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, salah satu pasangan menjadi TKI atau jarak usia yang terlalu jauh.
Kementerian Agama pun punya data dari seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Dari 157.771 kasus perceraian yang masuk pengadilan, sebanyak 77.528 kasus atau 49 persen disebabkan salah satu pihak tidak bertanggung jawab. 10.444 kasus atau 6 persen disebabkan karena perselingkuhan atau faktor orang ketiga.
"Faktor teratas disebabkan karena salah satu pihak tidak bertanggung jawab, faktor ekonomi di rumah tangga, dan kawin paksa," kata Dirjen Badan Peradilan Agama Kementerian Agama Wahyu Widiana saat dihubungi detikcom.
Sayangnya, itu hanyalah data perceraian dari pernikahan resmi di KUA. Kasus perceraian dari pernikahan siri, tidak terdata sama sekali. Menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus perceraian pasangan nikah siri, jauh lebih tinggi perbandingannya dari pasangan yang menikah resmi.
"Jumlah perceraian pasangan nikah siri sangat banyak. Itu berdasarkan temuan mitra Komnas perempuan di sejumlah daerah," pungkas komisioner Komnas Perempuan Masruchah.
(sumber)
0 komentar:
Post a Comment
No Spam, ada spam saya hapus