Slideshow

Artikel Terbaru

Pages

Monday, May 10, 2010

Home » » Para Pelompat Senayan : 'Kucing Adalah Guru Kita'

Para Pelompat Senayan : 'Kucing Adalah Guru Kita'



Jakarta
- Para pegiat parkour terampil memanjat dan melompati bangunan dan rintangan lain tanpa alat bantu. Mereka bergerak lincah bak seekor kucing. Perilaku dan gerakan hewan ini menjadi sumber ilham mereka.

Seni gerakan parkour itu dipelopori David Belle, warga negara Prancis, pada pertengahan 1980-an. Namun lambat laun, aktivitas ini mulai merambah ke seluruh dunia, mulai dari Eropa, Amerika, Australia dan Asia, termasuk Indonesia. Di tanah air, parkour mulai masuk sejak tahun 2000-an dan mulai populer sejak 2004.

Nah, sejak 2004 itulah parkour mulai disenangi kaum muda di sejumlah wilayah di Indonesia. Saat ini, menurut catatan komunitas parkour Indonesia, setidaknya sudah ada 30 kota yang memiliki komunitas parkour. Setiap komunitas berinteraksi dengan komunitas lainnya melalui forum-forum di internet.

"Kita memang sering berkomunikasi dengan komunitas parkour lainnya di Indonesia. Bahkan kita sering latihan bersama dengan komunitas parkour lainnya," jelas Oval dari komunitas Parkour Bandung saat dihubungi detikcom, Senin (10/5/2010).

Di Bandung, parkour telah dikenal sejak tahun 2000-an. Menurut Oval, saat ini jumlah penggemarnya mencapai ratusan orang. Hanya saja, yang rutin berlatih sekitar 60-70 orang. Mereka seringnya berlatih di kampus ITB dan Universitas Parahyangan.

Dijelaskan Oval, gaya-gaya yang dimiliki para "Traceur" atau "Traceuse (penggemar parkour pria atau wanita) yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda. Hanya saja, masing-masing daerah punya medan latihan yang berbeda sesuai lingkungan yang ada.

"Kalau di Jakarta mereka biasanya berlartih di gedung-gedung, kalau di Bandung di kampus, sementara di Malang rintangannya adalah alam, seperti pohon maupun batu-batuan," jelas Oval.

Tentang soliditas komunitas parkour ini juga diakui Aldika Vialinata, anggota komunitas parkour Jakarta. Menurut mahasiswa Bina Nusantara ini, dalam parkour tidak ada persaingan sebab tidak ada kompetisi dalam kegiatan ini.

"Dalam parkour tidak ada istilah kompetisi. Sebab parkour ini hanyalah seni gerak untuk mengatasi rintangan. Jadi keuntungan dari parkour ini hanya untuk pribadi orang yang menggelutinya saja," jelas Aldika kepada detikcom.

Aldika juga sepakat dengan Oval jika dalam parkour tidak ada gaya yang spesifik dari masing-masing komunitas parkour di Indonesia. Yang ada hanyalah adaptasi para pegiat parkour terhadap lingkungannya masing-masing. "Masing-masing daerah punya gaya hanya tempat latihannya saja. Tapi gerakan-gerakan dasarnya semua sama," jelasnya.

Tapi memang, untuk pegiat parkour mancanegara, mereka punya gaya yang berbeda-beda. Kata Aldika, di Prancis, para pegiat parkour lebih suka melakukan lompatan dari bangunan yang satu ke bangunan lainnya. Sementara di Jepang, para pegiat parkour lebih suka dengan gaya memanjat.

"Mungkin orang Jepang punya dasar ninja kali ya. Sehingga sukanya memanjat," ujar Aldika sambil tertawa.

Namun yang jelas, imbuh Aldika, teknik-teknik latihan parkour semuanya sama. Mereka semuanya mengadopsi dari gerakan kucing. Itu sebabnya di kalangan parkour dikenal pameo "Kucing adalah guru kita". Sebab gerakan tangan maupun kaki dalam meloncat serta berpindah-pindah mengikuti gerakan yang dilakukan kucing. Tak heran untuk latihan dasarnya para pegiat parkour harus melakukan cat walking alias jalan ala kucing hingga ratusan meter.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment

No Spam, ada spam saya hapus

Ping your blog in here